CONTOH MAKALAH | KRIMINALISTIK: EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata makalah dapat diartikan dalam dua hal, yakni makalah diaertikan sebagai tulisan resmi tentang suatu pokok yang dimaksud untuk dibacakan di depan umum disuatu persidangan dan sering di susun untuk diterbitkan. Kemudian yang kedua diartikan sebagai karya tulis pelajar atau mahasiswa sebagai laporan hasil pelaksanaan tugas sekolah atau perkuliahan.
EUTHANASIA DALAM PANDANGAN
HUKUM ISLAM
Nama Penulis
NPM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KHAIRUN TERNATE
2012
KATA
PENGATAR
Puji
syukur penulis panjatkan, kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya, sehungga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul
“Euthanasia Dalam Pandangan Hukum Islam. Penyusunan makalah ini merupakan
bagian dari tugas pengganti ujian tengah semester utuk penunjang perkuliahan.
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, sekalipun demikian penulis telah berusaha semaksimal
mungkin sesuai denngan kemampuan untuk mendapatkan hasil sebaik-baiknya.
Semoga
dapat dijadikan penambahan referensi buat teman-teman dalam perkuliahan ini.
Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Euthanasia
adalah sebuah istilah kedokteran. Istilah lain yang hampir semakna dengan itu
dalam bahasa arab adalah qatl ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau
taisir al-maut (memudahkan kematian). Euthanasia sendiri sering diartikan
sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan
sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit.
Apabila
penderita sakit diberi berbagai macam cara pengobatan --dengan cara meminum
obat, suntikan, diberi makan glukose dan sebagainya, atau menggunakan alat
pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan penemuan ilmu kedokteran modern--
dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja tidak ada perubahan,
maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib dan tidak mustahab, bahkan
mungkin ke balikannya (yakni tidak mengobatinya) itulah yang wajib atau
mustahab. Maka memudahkan proses kematian --kalau boleh diistilahkan demikian--
di mana dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah,
sehingga tidak dikenai sanksi, maka tindakan pasif ini adalah bolehdan
dibenarkan syariat. Terutama bila keluarga penderita mengizinkannya dan dokter
diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya
Allah.
Semua
itu dengan pertimbagan bahwa membiarkan si sakit dalam kondisi seperti itu
hanya akan menghabiskan dana yang banyak bahkan tidak terbatas. Selain itu juga
menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang membutuhkannya
dan masih dapat memperoleh manfaat dari alat tersebut. Penderita yang sudah
tidak dapat merasakan apa-apa itu hanya menjadikan sanak keluarganya selalu
dalam keadaan sedih dan menderita, yang mungkin sampai puluhan tahun lamanya.
B.
Rumusan
Masalah
·
Menjelaskan Pengertian Euthanasia
·
Membagi
macam-macam euthanasia
·
Bagaimanakah
pandangan dan pendapat euthanasia dalam pandangan hukum islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengaertian Euthanasia
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran,
euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah
sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin
lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter
adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah.
Contoh
euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus. Adapun euthanasia pasif,
adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit
keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan.
Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang
lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan
pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang
sangat tinggi.
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika
tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya. Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di
negara mana pun.
B. Bentuk-bentuk Dari Euthanasia
Dia adalah tindakan memudahkan
kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen
(alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien.
Misalnya: Ada seseorang
menderita penyakit yang sangat kronis atau sudah sampai pada stadium akhir,
yang disertai dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali
pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin jika si pasien tidak akan bertahan lama.
Maka dokter kemudian memberinya obat (morfin atau semacamnya) dengan takaran
tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, akan tetapi
sekaligus menghentikan pernapasannya.
b) Euthanasia
Pasif atau Negatif.
Dia adalah tindakan menghentikan
pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak
mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana penghentian pengobatan ini berarti
mempercepat kematian si pasien. Penghentian pengobatan biasanya dilakukan
dengan mencabut alat bantu pernafasan dari pasien yang notabene merupakan
satu-satunya sebab yang membuat pasien masih hidup.
Misalnya: Ada seorang yang
menderita koma dalam jangka lama, dimana otaknya sudah tidak berfungsi atau
sudah mati. Secara medis, orang ini sudah tidak mungkin sembuh dan jika dia
hidup maka itu hanya akan menyiksa dirinya mengingat tubuhnya sudah tidak bisa
berbuat apa-apa. Dan satu-satunya alasan yang membuat dia masih hidup (tentunya
setelah izin Allah) adalah adanya alat bantu pernafasan yang membuat dia masih
bisa bernafas. Maka melihat kenyataan seperti itu, si dokter melepaskan alat
bantu pernafasan tersebut sehingga akhirnya pasien meninggal karena sudah tidak
bisa bernafas.
C.
Pandangan dan Pendapat Euthanasia
Dalam Pandangan Hukum Islam
Menurut Pandangan Syariah Islam Euthanasia Aktif diharamkan,
karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun
niatnya baik yaitu meringankan penderitaan pasien, hukumnya tetap haram,
walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu
dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa orang lain,
maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar”. (Q.S Al-an’am:
151)
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering
dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga dokter memudahkan
kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal dibalik
itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Adapun hukum Euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk
dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan
tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, mislnya dengan cara menghentikan alat pernapasan
buatan dari tubuh pasieen. Bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib, mandub,
mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada perbedaan pendapat. Menurut
jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak
wajib. Namun sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama
Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib.
Hal ini berdasarkan berbagai hadits, dimana pada satu sisi Nabi SAW menuntut
umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa
tuntutan itu bukanlah tuuntutan yang tegas (wajib), tetapi tuntutan yang tidak
tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa
Rasulullah SAW bersbda :
“sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan
penyakit, Dia citakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR. Ahmad, dari
Anas RA). Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk
berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna
adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini
sesuai kaidah Ushul :
Al-Ashlu fi al-amari li ath-thalab
“perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya
tuntutan” (An-Nabhni, 1953) Jadi, hadist riwayat Imam Ahmad di atas hanya
menuntut kita berobat. Dalam hadist itu tidak terdapat suau indikasi pun bahwa
tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalm hadis-hadits lain
justru dan akan menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib.
Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang
diriwayatkan ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernh datang kepada
Nabi SAW lalu berkata, “Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan
sering tesingkap auratku (saat kambuh). Berdoalah kepada Allah untuk
kesembuhanku!”. Nabi SAW berkata, “Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan
mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berda kepada Allah agar dia
menyembuhkanmu. “perempuan itu berkata, “Baiiklah aku akan bersabar, “ lalu dia
berkata lagi, “sesungguhnya auratku sering tersingkap (saat ayanku kambuh),
maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu
berdoa untuknya. (HR.Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya
tidak berobat. Jika hadits ini di gabungkan dengan hadits pertama diatas yang
memerintahkn berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah),
bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. kesimpulannya,
hukum berobat adalah sunnah bukan wajib.
Dalam argumentasi pendapat dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok yang pro dan kontra terhadap euthanasia. Argument
mereka yang pro secara garis besar yaitu: euthanasia
dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita
sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah
melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertma, dokter terikat dengan
kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankn penderitaan pasien
tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yangg berarti
melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa
orang lain merupakan tindak pidana di negara manapun.
Sedangkan dari argumen mereka yang kontra yaitu : Euthanasia
Aktif diharamkan, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu
al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu meringankan penderitaan pasien, hukumnya
tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu
dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa orang lain,
maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar”. (Q.S Al-an’am:
151).
Tidak dapat diterima, alasan
euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan
pasien sehingga dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek
lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia.
Adapun hukum Euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut
dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan tidak
ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu,
dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, mislnya dengan cara menghentikan
alat pernapasan buatan dari tubuh pasieen. Bergantung pada pengetahuan kita
tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib,
mandub, mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada perbedaan pendapat. Menurut
jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak
wajib. Namun sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama
Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
b.
Analisis
pendapat
Dari beberapa pendapat diatas masing-masing pendapat
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan dari pihak
yang kontra yaitu si penderita euthanasia biasa meninggal
dunia secara perlahan-lahan, bisa mengurangi rasa sakit yang terus-menerus, dan
merasa dirinya tidak tersiksa. Sedangkan kekurangan dari pihak yang pro yaitu
euthanasia juga bisa di anggap pembunuhan, karena sama saja kita menghilangkan
nyawa orang lain.
c.
Penyebab
perbedaan pendapat
Menurut
hemat kami, penyebab perbedaan pendapat antara pihak yang pro dan kontra
terhadap euthanasia adalah deklarasi dan pandangan syari’ah yang berbeda-beda
dan cara pandang masing-masing tersebut dipengaruhi zaman yang berkembang.
Hikmahnya
yaitu pasien bisa mengalami ketenangan, tidak merasa tersiksa dalam kesakitan
yang berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
e.
Apresiasi
pendapat
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas, menurut saya
pihak yang pro terhadap euthanasia mempunyai hujjah yang kuat. Masing-masing
mempunyai kelemahan dan kelebihan-kelebihan dari masing-masing pendapat dapat
disatukan Insya Allah akan menciptakan sebuah hokum yang progresif serta
meningkatkan kemaslahatan manusia.
f.
Natijah
Syariah Islam merupkan syriah sempurna yang mampu mengatasi
segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah
terhadap euthanasia baik euthanasia aktif maupun aktif. Menurut Pandangan
Syariah Islam Euthanasia Aktif diharamkan, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu meringankan
penderitaan pasien, hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien
sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil
dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar”. (Q.S Al-an’am:
151).
Tidak dapat diterima, alasan
euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan
pasien sehingga dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek
lahiriah (empiris), padahal dibalik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak
diketahui dan tidak dijangkau manusia. Adapun hukum Euthanasia pasif,
sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan
tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan
tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien.
Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, mislnya dengan cara
menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasieen.
Bergantung pada pengetahuan kita
tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni apakah berobat itu wajib,
mandub, mubah, atau makruh. Dalam masakah ini ada perbedaan pendapat. Menurut
jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak
wajib. Namun sebagan ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama
Syafiiyah dan Hanabilah, seperti di kemukkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan
dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat
disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia,
karena ada dua kendala. Pertma, dokter terikat dengan kode etik kedokteran
bahwa ia dituntut membantu meringankn penderitaan pasien tapi di sisi lain,
dokter menghilangkan nyawa orang lain yangg berarti melanggar kode etik
kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain
merupakan tindak pidana di negara manapun.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah
sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum
euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat
bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz)
dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari
tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat
dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili,
1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun
untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 :
522-523).
B. Saran
Saran
dari pada penulis dalam hal ini mengenai judul dari makalah yang dibuat ini
merupakan suatu proses kita belajar permasalah euthanasia yang masih memberikan
banyak perlu kiranya pengkajian lebih dalam untuk dilihat terhadap hukum islam
yang mengatur tentang hal ini, karena masih banyak perbedaan pendapat dan
perbandingan dikalangan orang islam itu sendri. Semoga ini makalah ini dapat
kiranya menambah referensi dari teman-teman sekalian.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, M.Ali. 1995. Masail
Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.
Utomo, Setiawan Budi. 2003.
Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta
: Gema Insani Press.
: Gema Insani Press.
Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm
Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.
Posting Komentar untuk "CONTOH MAKALAH | KRIMINALISTIK: EUTHANASIA DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM"