Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

CONTOH KARYA TULIS ILMIAH


Setelah sebelumnya telah dijelaskan Metode Cepat Memahami Cara Membuat Karya Tulis Ilmiah berikutnya ini adalah contoh dari karya tulis ilmiah : 

 

 

JUDUL:

MASALAH KEJAHATAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

(STUDI KASUS ILMU KRIMINOLOGI)




 

Oleh

PENULIS

 

 

KATA PENGANTAR

Assalammu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Alhamdulillah, puja dan puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan hidayahnya, sehingga Penulis dapat merampungkan penulisan dan penyusunan Karya Ilmiah ini dapat terselesaikan.

Adapun Karya Ilmiah ini disusun sesuai dengan sumber yang dapat dari berbagi macam media baik secara cetak maupun elektronik.

Karya Ilmiah ini diberi judul: Masalah Kejahatan Pencurian Dengan Kekerasan. (Studi Kasus Ilmu Kriminologi)

Penulis mengetahui bahwa dalam pembuatan Karya Ilmiah ini terdapat banyak kekurangan terutama dari segi penulisan, untuk itu penulis berharap agar adanya masukan, saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan bagi karya ilmiah ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih banyak dan penulis berharap Karya llmiah ini dapat berguna bagi kita semua.

                                                                     

Penulis

………..

 

 (i)

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR........................................................................................................   i

DAFTAR ISI......................................................................................................................   ii

 

BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang.........................................................................................................   1

B.     Ruang Lingkup Pembahasan...................................................................................   2

 

BAB II  PEMBAHASAN

A.    Kajian Kejahatan.................................................................................................................   4

B.     Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan.................................................................   5

C.     Teori Penyebab Kejahatan..................................................................................................   7

D.    Teori-teori Penanggulangan Kejahatan..............................................................................   18

E.     Kajian Kriminologi............................................................................................................   18

 

BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan........................................................................................................................   22

B.     Saran..................................................................................................................................   22

 

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................   23

 (ii)

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dan hubungan antara manusia dan negara agar segala sesuatunya berjalan dengan tertib. Oleh karena itu, tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dengan mewujudkan kepastian hukum dan keadilan di dalam masyarakat. Kepastian hukum menghendaki adanya perumusan kaedah-kaedah dalam peraturan perundang-undangan yang jelas dan tegas.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHPidana) merupakan salah satu sumber pokok hukum pidana materil Indonesia, yang memuat asas–asas umum hukum pidana, ketentuan pemidanaan atau hukum penitensier dan yang paling pokok adalah peraturan hukum yang memuat larangan dan perintah yang harus ditaati oleh setiap orang. Larangan–larangan dan perintah tersebut telah dimuat dalam Buku II dan Buku III KUHPidana, berupa rumusan tentang perbuatan-perbuatan tertentu baik aktif maupun pasif. Adanya ancaman pidana terhadap orang yang melanggar aturan tersebut merupakan ciri khas yang membedakannya dengan peraturan perundang–undangan lainnya.

Suatu kejahatan umumnya terjadi karena didorong atau dimotivasi oleh pemenuhan kebutuhan hidup yang relatif sulit dipenuhi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memberi peluang tindak kejahatan makin tinggi volumenya dan meningkat kualitasnya termasuk pelanggaran pidana yang makin bervariasi. Untuk menanggulangi kejahatan dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang baik dan tepat, penegakan hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana tujuannya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dengan menekan peningkatan peristiwa pelanggaran hukum dan tindak pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materil.

Para pelaku kejahatan dapat melakukan aksinya dengan berbagai upaya dan berbagai cara. Keadaan seperti itu yang disebut dengan istilah “modus operandi” (model pelaksanaan kejahatan). Dengan kemajuan teknologi dewasa ini, modus operandi para penjahat juga mengarah kepada kemajuan ilmu dan teknologi. Faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan, menurut Mulyana W. Kusumah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) golongan faktor, yaitu:

(1)

1.    Faktor dasar atau faktor sosio-struktural, yang secara umum mencakup aspek budaya serta aspek pola hubungan penting di dalam masyarakat;

2.    Faktor interaksi sosial, yang meliputi segenap aspek dinamik dan prosesual di dalam masyarakat, yang mempunyai cara berfikir, bersikap dan bertindak individu dalam hubungan dengan kejahatan;

3.   Faktor pencetus (precipitating factors), yang menyangkut aspek individu serta situasional yang berkaitan langsung dengan dilakukannya kejahatan;

4.   Faktor reaksi sosial yang dalam ruang lingkupnya mencakup keseluruhan respons dalam bentuk sikap, tindakan dan kebijaksanaan yang dilakukan secara melembaga oleh unsur-unsur sistem peradilan pidana khususnya dan variasi respons, yang secara “informal” diperlihatkan oleh warga masyarakat.

Berbagai kejahatan yang ada di masyarakat dapat dikategorikan sebagai kejahatan khusus dan kejahatan umum. Walaupun dalam prakteknya tidak jarang pula terjadi tumpang tindih pada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Seperti dapat dilihat pada kejahatan korupsi, kejahatan ekonomi, dan kejahatan subversi.

Kejahatan umum terdiri dari berbagai macam bentuk, salah satunya adalah kejahatan pencurian. Poerwadarminta, menjelaskan sebagai berikut:

“Pencuri berasal dari kata dasar curi; yang berarti berbagai-bagai perkara pencurian, sedang arti dari pada pencurian adalah perkara (perbuatan dan sebagainya) mencuri (mengambil milik orang tidak dengan jalan yang sah)”.

B.     Ruang Lingkup Pembahasan

Kejahatan pencurian yang ada dalam KUHPidana juga dibagi menjadi beberapa macam antara lain kejahatan pencurian sesuai dengan ketentuan Pasal 362 KUHPidana atau pencurian biasa, kejahatan pencurian dengan pemberatan sesuai yang diatur dengan Pasal 363 KUHPidana, kejahatan pencurian ringan seperti yang ditentukan dalam Pasal 364 KUHPidana, kejahatan pencurian dengan kekerasan yang diatur dalam Pasal 365 KUHPidana, serta kejahatan pencurian dalam keluarga yang ditentukan dalam pasal 367 KUHPidana.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jambret adalah merenggut atau merebut (barang milik orang lain yang sedang dipakai atau dibawa). Penjambretan berbeda dengan pencurian biasa dan juga perampokan dimana perbedaannya berada pada proses melakukan kejahatan tersebut.

(2)

Kejahatan pencurian dengan kekerasan sesuai dengan ketentuan Pasal 365 KUHPidana ditambah dengan kejahatan pencurian dengan pemberatan sesuai ketentuan Pasal 363 KUHPidana, dimasukkan ke dalam gequalificeerde diefstal atau pencurian yang dikualifikasikan oleh akibatnya. Pencurian dengan kekerasan merupakan kejahatan terhadap harta benda. Kekerasan yang dilakukan dalam pencurian tersebut mempunyai tujuan untuk menyiapkan atau mempermudah pencurian atau jika tertangkap tangan ada kesempatan bagi pelaku untuk melarikan diri agar barang yang dicuri tersebut tetap berada di tangan pelaku.

Dengan semakin meningkatanya kejahatan pencurian, maka berkembang pula bentuk-bentuk lain dari pencurian itu sendiri. Salah satunya adalah pencurian dengan kekerasan, yakni suatu tindakan pencurian yang menggunakan kekerasan seperti menarik atau merampas secara paksa barang berharga yang berada dalam penguasaan penuh korban dengan maksud untuk menyiapkan atau mempermudah pelaku untuk melakukan pencurian itu dan jika tertangkap tangan pelaku memiliki kesempatan untuk melarikan diri.

Adapun pembuatan karya ilmiah ini penulis membatasi ruang pembahasan dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan dan upaya penanggulangan dalam mengurangi tingkat kejahatan pencurian dengan kekerasan.

(3)

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Kajian Kejahatan

KUHPidana membedakan antara kejahatan (delik hukum) dengan pelanggaran (delik undang-undang). Pembagian ini sangat penting karena mendasari seluruh sistem pidana Indonesia sekalipun akan ditinggalkan dalam penyusunan KUHPidana yang baru (apabila rancangan KUHPidana disahkan). Pembagian atau pemilahan tersebut juga dibuat berdasarkan tingkat pelanggaran yang diaplikasikan dalam pembedaan sanksi pidana dan cara atau proses peradilannya.

Secara etimologis, kejahatan merupakan suatu perbuatan manusia yang mempunyai sifat jahat sebagaimana bila orang membunuh, merampok, mencuri dan lain sebagainya. Sutherland menekankan bahwa ciri pokok kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara terhadap perbuatan itu negara beraksi dengan hukumnya sebagai pamungkas.

Penganut aliran sosiologis berpendapat bahwa dalam memberikan pengertian kejahatan harus dimulai dari dengan mempelajari norma-norma kelakuan di dalam masyarakat sehingga tidak perlu ada batasan-batasan politik serta tidak selalu terkandung dalam undang-undang. Selain itu, perlu juga diperhatikan rumusan Arif Gosita, mengenai pengertian kejahatan, yaitu suatu hasil interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Kejahatan yang dimaksud tidak hanya meliputi rumusan undang-undang pidana saja tetapi juga hal-hal yang dapat menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat.

Terlepas dari pendapat tersebut yang ada maka pada hakekatnya pengertian kejahatan dapat diklasifikasikan atas 3 pengertian :

a.       Pengertian kejahatan dari sudut pandang yuridis.

Secara yuridis formal kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusian, merugikan masyarakat, asosial sifatnya dan melanggar undang-undang pidana (KUHPidana). Dalam KUHPidana sendiri tidak ditentukan pengertian kejahatan, namun dapat diartikan bahwa kejahatan adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan KUHPidana. 

(4)

b.      Pengertian kejahatan dari sudut pandang sosiologis.

Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat, atau dengan kata lain kejahatan adalah semua bentuk ucapan, perbuatan, tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosio-psikis sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila, dan menyerang keselamatan warga masyarakat (baik yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum).

c.       Pengertian kejahatan dari sudut pandang kriminologi.

Secara kriminologis, kejahatan adalah segala perbuatan manusia dalam bidang politis, ekonomi dan sosial yang sangat merugikan dan berakibat jatuhnya korban-korban baik individual maupun korban kelompok atau golongan-golongan masyarakat.

B.     Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan

Pencurian dengan kekerasan adalah pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan terhadap orang. Pencurian dengan kekerasan diatur dalam pasal 365 KUHPidana yang diantaranya menyebutkan:

     (1)   Dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, dihukum pencurian yang

didahului, serta diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang, dengan maksud akan menyiapkan atau memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan(terpergok) supaya ada kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi kawannya yang turut melakukan kejahatan itu akan melarikan diri atau supaya barang yang dicuri itu tetap ada ditangannya.

     (2)   Hukuman penjara selam-lamanya dua belas tahun, dijatuhkan:

1e.     Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam didalam suatu rumah atau pekarangan yang tertutup, yang ada dirumahnya atau dijalan umum atau didalam suatu kereta api atau trem yang sedang berjalan.

  2e.     Jika perbuatan itu dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih.

  3e.     Sitersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan membongkar atau memanjat, atau dengan jalan memakai kunci palsu, atau perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu.

  4e.     Jika perbuatan itu mengakibatkan ada orang mendapat luka berat.

(3)   Hukuman selama-lamanya lima belas tahun dijatuhkan jika karna perbuatan itu ada orang mati.

(4)   Hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-

(5)

lamanya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu menjadikan ada orang mendapat luka berat atau mati, dilakukan oleh dua orang bersama-sama atau lebih dan disertai pula oleh hal dalam No. 1 dan 3.

Adapun unsur-unsur kejahatan pencurian dengan kekerasan pada Pasal 365 KUHPidana ini sama dengan yang dipunyai oleh Pasal 362 KUHPidana dengan tambahan unsur-unsur sebagai berikut:

Pasal 365 ayat (1) KUHPidana:

1.      Pencurian, yang:

2.      Didahului atau disertai atau diikuti

3.      Kekerasan atau ancaman kekerasan

4.      Terhadap orang

5.      Dilakukan dengan maksud untuk:

a.       Mempersiapkan atau

b.      Memudahkan atau

c.       Dalam hal tertangkap tangan

d.      Untuk memungkinkan melarikan diri bagi dirinya atau peserta lain

e.       Untuk tetap menguasai barang yang di curi.

Pasal 365 ayat (2):

1.      Unsur-unsurnya sama dengan ayat (1) di atas, hanya ditambahkan unsur:

a.       Waktu malam,

b.      dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya,

c.       di jalan umum,

d.      dalam kereta api yang sedang berjalan.

e.       Ditambah unsur subjek pelaku, dua orang atau lebih

f.       Ditambah unsur membongkar, memanjat, memakai kunci palsu, perintah palsu, jabatan palsu.

g.      Unsur mengakibatkan luka berat pada korban.

2.      Dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama.

3.      Dalam ketentuan Pasal tersebut diatur pencurian yang didahului,disertai atau diikuti kekerasan atau ancaman kekerasan denganmaksud untuk mempersiapkan dan sebagainya dimana masuknya ketempat kejahatan atau untuk sampai pada barang yang akan diambilnya dilakukan dengan cara membongkar, merusak, atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsuatau seragam palsu.

Pasal 365 ayat (3):

Ditambahkan dengan unsur diatas yaitu ditambahkan unsur matinya orang akibat perbuatan itu.

Pasal 365 ayat (4): 

(6)

Ditambah unsur luka berat atau mati karena dilakukan oleh dua orang atau lebih.

Pasal 89 KUHPidana menyamakan dengan melakukan kekerasan yakni perbuatan membuat orang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Kekerasan atau ancaman kekerasan seperti yang dimaksudkan di atas harus ditujukan kepada orang-orang, tetapi tidaklah perlu bahwa orang tersebut merupakan pemilik dari benda yang akan dicuri atau telah dicuri. Sedang pengertian tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mengadakan perlawanan sedikitpun. Orang yang tidak berdaya itu masih dapat sadar terhadap apa yang terjadi atas dirinya. Menurut Simons, dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.

Sedangkan menurut R. Soesilo, melakukan kekerasan artinya, mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak syah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan lain sebaginya.

Pencurian biasa merupakan kejahatan yang dilakukan dengan cara pelaku mengambil barang yang bukan miliknya (barang yang dimiliki korban) dengan cara sembunyi-sembunyi dan tidak diketahui oleh korban, sehingga korban mengetahui dirinya telah menjadi korban pencurian beberapa saat setelah terjadinya kejahatan pencurian atau setelah korban menyadari bahwa barang miliknya yang telah hilang. Perampokan sendiri merupakan perbuatan mengambil barang milik seseorang/sesuatu melalui tindakan kasar dan intimidasi. Perampokan kadang dibedakan dengan pencurian. Perampokan adalah tindakan pencurian yang berlangsung saat diketahui korban, sedangkan pencurian biasanya dianggap dilakukan saat tidak diketahui korban. Selain itu, pencurian juga digunakan sebagai istilah yang lebih umum yang merujuk kepada segala tindakan pengambil alihan sesuatu dari suatu pihak secara paksa. Sementara penjambretan biasanya dilakukan dengan cara merampas, merenggut, atau merebut barang yang dimiliki korban, barang yang diambil oleh pelaku sebelumnya berada dalam penguasaan penuh korban.

C.    Teori Penyebab Kejahatan

1.    Perspektif Biologis

a.      Lahir Sebagai Penjahat (Born Criminal)

Teori born criminal dari Cesare Lombroso (1835-1909) lahir dari ide yang diilhami oleh teori Darwin tentang evolusi manusia. Dalam hal ini Lombroso membantah tentang sifat free will yang dimiliki manusia. Doktrin atavisme menurutnya membuktikan adanya sifat hewani yang diturunkan oleh nenek moyang manusia. Gen ini dapat muncul sewaktu-waktu dari turunannya yang memunculkan sifat jahat pada manusia modern.

(7)

Ajaran inti dalam penjelasan awal Lombroso tentang kejahatan adalah bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-kriminal, Lombroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasikan dalam karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi.

Lombroso menggunakan posisinya sebagai dokter militer untuk meneliti 3000 tentara melalui rekam medis (medical-record) miliknya. Berdasarkan penelitianya tersebut, Lombroso mengklasifikasikan penjahat kedalam 4 golongan, yaitu:

1)   Born criminal, yaitu orang yang berdasarkan pada doktrin atavisme.

2)   Insane criminal, yaitu orang menjadi penjahat sebagai hasil dari beberapa perubahan dalam otak mereka yang mengganggu kemampuan mereka untuk membedakan antara benar dan salah. Contohnya adalah kelompok idiot, embisil, atau paranoid.

3)   Occasional criminal, atau Criminaloid, yaitu pelaku kejahatan berdasarkan pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya. Contohnya penjahat kambuhan (habitual criminals).

4)   Criminal of passion, yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakannya karena marah, cinta, atau karena kehormatan.

b.      Tipe Fisik

1.    Ernest Kretchmer

Dari hasil penelitian kretchmer terhadap 260 orang gila di Jerman, Kretchmer mengidentifikasi empat tipe fisik, yaitu:

1)   Asthenic : Kurus, bertubuh ramping, berbahu kecil yang berhubungan dengan schizopheria (gila).

2)   Athletic : menengah tinggi, kuat, berotot, bertulang kasar.

3)   Pyknic : tinggi sedang, figure yang tegap, leher besar, wajah luas yang berhubungan dengan depresi.

4)   Tipe campuran yang tidak terklasifikasi.

2.    William H. Sheldon

Sheldon berpendapat bahwa ada korelasi yang tinggi antara fisik dan tempramen seseorang. Sheldon memformulasikan sendiri kelompok somatotypes, yaitu:

1)   The endomorph (tubuh gemuk)

2)   The mesomorph (berotot dan bertubuh atletis)

3)   The ectomporph (tinggi, kurus, fisik yang rapuh).

(8)


Menurut Sheldon, orang yang didominasi sifat bawaan mesomorph cenderung lebih dari orang lainnya pada pengujian fisik dan psikologis, Sheldon menghasilkan suatu „index to delinquency’ yang dapat digunakan untuk member profil dari tiap problem pria secarah mudah dan cepat.

 

3.    Sheldon Glueck dan Eleanor Glueck

Sheldon Glueck dan Eleanor glueck melakukan studi komporatif antara pria delinquent dengan non delinquent. Pria delinquent didapati memiliki wajah yang lebih besar, lengan bawah dan lengan atas lebih besar dibandingkan dengan non delinquent. Penelitian mereka juga mendapati bahwa 60% delinquent didominasi oleh mesomorphic.

c.       Disfungsi Otak dan (Learning Disabilities)

 

Disfungsi otak dan cacat neurologist secara umum ditemukan pada mereka yang menggunakan kekerasan secara berlebihan dibanding orang pada umumnya, Banyak pelaku kejahatan kekerasan kelihatannya memiliki cacat di dalam otaknya dan berhubungan dengan terganggunya self-control. Deliquency berhubungan dengan learning disabilities, yaitu kerusakan pada fungsi sensor dan motorik yang merupakan hasil dari beberapa kondisi fisik abnormal.

 

d.      Faktor Genetik.

Terdapat 3 teori dalam hal ini yaitu twin studies, adoption studies, dan the XYY syndrome. Menurut teori twin studies, meningkatnya resiko kmrinalitas dipengaruhi oleh faktor genetika. Kemudian menurut teori adoption studies, faktor kriminalitas orang tua asli (orang tua biologis) berpengaruh besar terhadap anak dibanding kriminalitas dari orang tua angkat. Dan menurut teori the XYY syndrome, laki-laki yang memiliki dua kromosom Y dari ayahnya dan satu X kromosom dari ibunya, cenderung bertubuh tinggi, secara fisik agresif, dan sering melakukan kekerasan.

2.    Perspektif Psikologis

a.    Teori Psikoanalisis

Teori psikoanalisis tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan perilaku kriminal dengan suatu “conscience” (hati nurani) yang baik, dia begitu kuat sehingga menimbulkan perasaan bersalah atau ia begitu lemah sehingga tidak dapat mengontrol dorongan-dorongan dirinya bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.

(9)

Sigmund Freud (1856-1939), penemu dari psychoanalysis, berpendapat bahwa kriminalitas mungkin hasil dari “an overactive conscience” yang menghasilkan perasaan bersalah yang tidak tertahankan untuk melakukan kejahatan dengan tujuan agar ditangkap dan dihukum. Begitu dihukum maka perasaan bersalah mereka akan mereda.

b.    Kekacauan Mental (Mental Disorder)

Mental disorder yang sebagian besar dialami oleh penghuni lembaga pemasyarakatan, oleh Phillipe Pinel seorang dokter Perancis sebagai manie sans delire (madness without confusion) atau oleh dokter inggris bernama James C. Prichard sebagai „moral incanity’, dan oleh Gina Lombroso-Ferrero sebagai „irresistible atavistic impluses’. Pada dewasa ini penyakit mental tadi disebut dibuat antisocial personality atau psychopathy sebagai suatu kepribadian yang ditandai oleh suatu ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang ramah, bersifat cuek, dan tidak pernah merasa bersalah.

Psikiater Hervey Clecke memandang pschopathy sebagai suatu serius meski penderita tidak kelihatan sakit. Menurutnya, para psychopath terlihat mempunyai kesehatan mental yang sangat bagus, tetapi apa yang kita saksikan itu sebenarnya hanyalah suatu “mask of sanity” atau topeng kewarasan. Para psychopath tidak menghargai kebenaran, tidak tulus, tidak merasa malu, bersalah atau terhina, mereka berbohong dan melakukan kecurangan tanpa ada keraguan dan melakukan pelnagggaran verbal maupun fisik tanpa perencanaan.

c.    Pengembangan Moral (Development Theory)

Lawrence Kohlberg menemukan bahwa pemikiran moral tumbuh dalam tahap preconventional stage atau pra-konvensional, dimana aturan moral dan nilai-nilai moral terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari hukuman. Menurut teori ini, anak dibawah umur 9 hingga 11 tahun biasanya berfikir pada tingkatan pra-konvensional ini. Psikolog John Bowl mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang sejak lahir dan konsekuensinya jika tidak mendapat hal itu. Dia mengajukan theory of attachment (teori kasih sayang) yang terdiri atas tujuh hal penting, yaitu:

(10)

1.    Specifity (kasih sayang itu bersifat selektif).

2.    Duration, bahwa kasih sayang itu berlangsung lama dan bertahan.

3.    Engagement of emotion, bahwa kasih sayang melibatkan emosi.

4.    Ontogeny, yaitu pada rangkaian perkembangannya, anak membentuk kasih sayang pada satu figur utama.

5.    Learning, bahwa kasih sayang merupakan hasil dari interaksi social yang mendasar.

6.    Organization, bahwa kasih sayang mengikuti suatu organisasi perkembangan.

7.    Biological function, yaitu perilaku kasih saynag memiliki fungsi biologis, yakni survival.

d.   Pembelajaran social (social Learning Theory)

Teori pembelajaran sosial ini berpendirian bahwa perilaku delinquent dipelajari melalui proses psikologis yang sama sebagaimana semua prilaku non-delinquent. Tingkah laku dipelajari jika diperkuat atau diberi ganjaran, dan tidak dipelajari jika tidak diperkuat.

3.    Perspektif Sosiologis

Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum, yaitu:

1.      Anomie (ketiadaan norma) atau strain (ketegangan).

2.      Cultural deviance (peyimpangan budaya).

3.      Social control (kontrol sosial).

Teori anomie dan penyimpangan budaya, memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Teori ini berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal saling berhubungan. Pada penganut teori anomie beranggap bahwa seluruh anggota masyarakat mengikuti seperangkat nilai-niai budaya, yaitu nilai-nilai budaya kelas menengah, yaitu adanya anggapan bahwa nilai budaya terpenting adalah keberhasilan ekonomi. Karena orang-orang kelas bawah tidak mempunyai sarana-sarana yang sah (legitimate means) untuk mencapai tujuan tersebut, seperti gaji tinggi, bidang usaha yang maju, dan lain-lain. Mereka menjadi frustasi dan beralih menggunakan sarana-sarana yang tidak sah (illegitimate means). 

(11)

1)      Teori-teori anomie

a.    Emile Durkheim.

Satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, dilihat pada struktur dari suatu masyarakat guna melihat bagaimana berfungsinya.

Menurut Durkheim, penjelasan tentang perbuatan manusia tidak terletak pada si individu, tetapi terletak pada kelompok dan organisasi sosial. Dalam konteks inilah,Durkheim memperkenalkan istilah anomie sebagai hancurnya keteraturan sosial sebagai akibat hilangya patokan-patokan dan nilai-nilai. Anomie dalam teori Durkheim juga dipandang sebagai kondisi yang mendorong sifat individualistis (memenangkan diri sendiri/egois) yang cenderung melepaskan pengendalian sosial. Keadaan ini akan diikuti dengan perilaku menyimpang dalam pergaulan masyarakat.

b.   Robert Merton.

Konsepsi Merton tentang anomie agak berbeda dengan konsepsi anomie dari Durkheim. Masalah sesungguhnya, menurut Merton, tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial) yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk semua anggotanya tanpa memberi sarana yang merata untuk mencapainya. Menekankan pentingya dua unsur di setiap masyarakat, yaitu :

1)   Cultural aspiration atau cultural goals yang diyakini berharga untuk diperjuangkan;

2)   Institutionalized means atau accepted ways untuk mencapai tujuan itu.

Dalam masyarakat menurut pandangan Merton, telah melembaga suatu cita-cita (goals) untuk mengejar sukses semaksimal mungkin yang umumnya diukur dari harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Untuk mencapai sukses yang dimaksud, masyarakat sudah menetapkan cara-cara (means) tertentu yang diakui dan dibenarkan yang harus ditempuh seseorang. Meskipun demikian pada kenyataannya tidak semua orang mencapai cita-cita dimaksud melalui legitimated means (mematuhi hukum). Oleh karena itu terdapat individu yang berusaha mencapai cita-cita dimaksud melalui cara yang melanggar undang-undang (illegitimated means). Pada umumnya, mereka yang melakukan illegitimated means tersebut berasal dari masyarakat kelas bawah dan golongan minoritas.

 (12)

2)      Teori-teori penyimpangan budaya (cultural deviance theories).

Teori penyimpangan budaya memfokuskan perhatian kepada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Cultural deviance theories memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai-nilai yang khas pada lower class. Proses penyesuaian diri dengan sistem nilai kelas bawah yang menentukan tingkah laku di daerah-daerah kumuh, menyebabkan benturan dengan hukum-hukum masyarakat.

Tiga teori utama dari cultural deviance theories, adalah :

a.         Social disorganization;

b.        Differential association;

c.         Cultural conflict.

Social disorganization theory memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka kejahatannya tinggi yang berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai kovensional yang disebabkan oleh industrialisasi yang cepat, peningkatan imigrasi, dan urbanisasi.

Differential association theory yang dicetus oleh Sutherland bermakna bahwa pendekatan individu mengenai seseorang dalam kehidupan masyarakatnya, karena pengalaman-pengalamannya tumbuh menjadi penjahat dan bahwa ada individu atau kelompok individu yang secara yakin dan sadar melakukan perbuatannya yang melanggar hukum.Hal ini disebabkan karena adanya dorongan posesif mengungguli dorongan kreatif yang untuk itu dia melakukan pelanggaran hukum dalam memenuhi posesifnya.

Cultural conflict theory, menjelaskan keadaan masyarakat dengan ciri-ciri yaitu kurangnya ketetapan dalam pergaulan hidup, sering terjadi pertemuan norma-norma dari berbagi daerah yang satu sama lain berbeda bahkan ada yang saling bertentangan. Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer terjadi ketika norma-norma dari dua budaya bertentangan (clash).Konflik sekunder muncul jika suatu budaya berkembang menjadi budaya yang berbeda-beda, masing-masing memiliki perangkat conduct norms-nya sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika satu masyarakat homogeny atau sederhana menjadi masyarakat yang kompleks di mana sejumlah kelompok-kelompok sosial berkembang secara konstan dan norma-norma seringkali tertinggal.

(13)

3)      Teori kontrol sosial (Control social theory).

Pengertian teori kontrol sosial merujuk pada setiap perspektif yang membahas ihwal pengendalian tingkah laku manusia. Sementara teori kontrol sosial merujuk kepada pembahasan delinquency dan kejahatan yang dikaitkan dengan variable-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Travis Hirschi telah memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai konsep social bonds (ikatan sosial). Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan berbagai ragam pandangan tentang kesusilaan.Hirschi berpendapat bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan-penyimpangan tingkah lakunya. Hirschi kemudian menjelaskan bahwa sosial bonds meliputi empat unsur yaitu:

a.         Attachment (keterikatan) adalah keterikatan seseorang pada (orang tua), sekolah atau lembaga lainnya yang dapat mencegah atau menghambat yang bersangkutan untuk melakukan kejahatan.

b.        Involvement (keterlibatan) bahwa frekuensi kegiatan positif (belajar tekun, anggota pramuka, panjat tebing) dan lain-lain. Cenderung menyebabkan seseorang itu tidak terlibat dalam kejahatan.

c.         Commitment (pendirian kuat yang positif) bahwa sebagai suatu investasi seseorang dalam masyarakat antara lain dalam bentuk pendidikan,reputasi yang baik, dan kemajuan dalam bidang wiraswasta tetap dijaga untuk mewujudkan cita-citanya.

d.        Belief (pandangan nilai moral yang tinggi) merupakan unsur yang mewujudkan pengakuan seseorang akan norma-norma yang baik dan adil dalam masyarakat. Unsur ini menyebabkan seseorang menghargai norma-norma dan aturan-aturan serta merasakan adanya kewajiban moral untuk menaatinya. 

 

 (14)

4.    Perspektif Lain.

Tokoh-tokoh teori labeling yaitu:

1.    Teori Labeling

1)   Becker, melihat kejahatan itu sering kali bergantung pada mata si pengamat karena anggota-anggota dari kelompok-kelompok yang berbeda memiliki perbedaan konsep tentang apa yang disebut baik dan layak dalam situasi tertentu.

2)   Howard, berpendapat bahwa teori labeling dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu:

a)    Persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label.

b)    Efek labeling terhadap penyimpangan tingkah laku berikutnya.

3)      Scharg, menyimpulkan asumsi dasar teori labeling sebagai berikut:

a)    Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.

b)    Rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat di-paksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan.

c)    Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang melainkan karena ia ditetapkan oleh penguasa.

d)   Sehubungan dengan kenyataan bahwa setiap orang dapat berbuat baik dan tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok kriminal dan non kriminal.

e)    Tindakan penangkapan merupakasn awal dari proses labeling.

f)     Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana adalah fungsi dari pelaku sebagai lawan dari karateristik pelanggarannya.

g)    Usia, tingkat social-ekonomi, dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana.

h)    Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakkan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.

i)      Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan menghasilkan rejection of the rejector. 

(15)

4)      Lemert telah memperkenalkan suatu pendekatan yang berbeda dalam menganalisis kejahatan sebagaimana tampak dalam pernyataan di bawah ini:

This is large turn away from the older sociology which tended to rest heavily upon the idea that deviance leads to social control. I have come to believe that the reserve idea. i.e. social control leads to deviance, equally tenable and the potentially richer premise for studying deviance in modern society.”

5)      Frank Tannenbaum menanamkan proses pemasangan label tadi kepada si penyimpang sebagai “dramatisasi sesuatu yang jahat/kejam”. Ia memandang proses kriminalisasi ini sebagai proses memberikan label, menentukan, mengenal (meng-identifikasi), memencilkan, menguraikan, menekankan/me-nitikberatkan, membuat sadar, atau sadar sendiri. Kemudian menjadi cara untuk menetapkan ciri-ciri khas sebagai penjahat.

2.     Teori Konflik (conflict Theory)

Teori konflik lebih mempertanyakan proses pembuatan hukum, pertarungan (struggle) untuk kekuasaan merupakan suatu gambaran dasar eksistensi manusia. Dalam arti pertarungan kekuasaan itulah bahwa berbagai kelompok kepentingan berusaha mengontrol pembuatan dan penegakkan hukum. Menurut model consensus, anggota masyarakat pada umumnya sepakat tentang apa yang benar dan apa yang salah, dan bahwa intisari dari hukum merupakan kodifikasi nilai-nilai social yang disepakati tersebut.

Sedangkan menurut model konflik, mempertanyakan tidak hanya proses dengan mana seseorang menjadi kriminal, tetapi juga tentang siapa di masyarakat yang memiliki kekuasaan (power) untuk membuat dan menegakkan hukum, teori konflik sebagaimana labeling theory, memiliki akarnya dalam memberontak dan mempertanyakan tentang niali-nilai, tetapi berbeda dengan pendekatan labeling maupun tradisional yang terfokus pada kejahatan dan penjahat (termasuk labeling terhadap palaku oleh sistem), teori konflik ini mempertanyakan eksistensi dari sistem itu sendiri.

3.     Teori Radikal (Kriminologi Kritis)

Pada dasarnya perspektif kriminologi yang mengetengahkan teori radikal yang berpendapat bahwa kapitalisme sebagai kausa kriminalitas yang dapat dikatakan sebagai aliran Neo-Marxis.

Dua teori radikal akan dipaparkan sebagai berikut:

(16)

1)   Richard Quinney

Menurut Richard Quinney, beranggapan kejahatan adalah akibat dari kapitalisme dan problem kejahatan hanya dapat dipecahkan melalui didirikannya Negara sosialis. Quinney mengetengahkan proporsinya mengenai penaggulangan kejahatan sebagai berikut:

a)      Masyarakat Amerika didasarkan pada ekonomi kapitalis yang telah maju.

b)      Negara diorganisir untuk melayani kepentingan kelas ekonomi yang dominan.

c)      Hukum pidana merupakan alat atau instrument Negara kelas penguasa untuk mempertahankan dan mengabdikan atau mengkekalkan tertib social dan ekonomi yang ada.

d)     Kontrol kejahatan dalam masyarakat kapitalis dicapai melalui berbagia macam lembaga dan aparat yang didirikan dan di atur oleh golongan elite dalam pemerintahan, yang mewakili kepentingan kelas yang memerintah, dengan tujuan mendirikan tertib domestic.

e)      Kontradiksi-kontradiksi kapitalisme yang telah maju adalah terdapat rantai putus antara keberadaan dan kebutuhan inti, dimana kelas-kelas bawah tetap tertekan oleh apa saja ayng di anggap perlu, khususnya melalui penggunaan paksaan atau kekerasan sistem perundang-undangan yang ada.

f)       Hanya melalui bubarnya atau ambruknya masyarakat kapitalis dan diciptakannya masyarakat baru yang didasarkan pada azas sosialis baru bias diperoleh pemecahan masalah kejahatan.

2)   William Chamblis

Menurut Chamblis ada hubungan antara kapitalisme dan kejahatan seperti dapat di telaah pada beberapa butir di bawah ini:

a)      Dengan diindustialisasikannya masyarakat kapitalis, dan celah antara golongan borjuis dan proletariat melebar, hukum pidana akan berkembang dengan usaha memaksa golongan proletariat untuk tunduk.

b)      Mengalihkan perhatian kelas golongan rendah dari ekplositasi yang mereka alami.

c)      Masyarakat sosialis akan memiliki tingkat kejahatan yang lebih rendah karena dengan berkurangnya kekuatan perjuangan kelas akan mengurangi kekuatan-kekuatan yang menjurus kepada fungsi kejahatan.

 

 (17)

 

D.    Teori-teori Penanggulangan Kejahatan

Penanggulangan kejahatan Emperik terdiri dari tiga bagian pokok, yaitu:

 

1.      Pre-Emtif

Upaya Pre-Emtif adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan secara Pre-Emtif adalah menanamkan nilai-nilai/norma-norma yang baik sehingga norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan kejahatan/pelanggaran tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha Pre-Emtif faktor niat menjadi hilang meskipun ada kesempatan.

2.      Preventif

Upaya-upaya Preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya Pre-Emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadi kejahatan. Dalam upaya preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk dilakukannya kejahatan.

3.      Represif

Upaya ini dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum (law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman.

E.     Kajian Kriminologi

Sebagai suatu bidang ilmu, kriminologi memiliki objek tersendiri. Suatu bidang ilmu harus memiliki objek kajiannya sendiri, baik objek materiil maupun formil. Pembedaan antara bidang ilmu yang satu dengan yang lain adalah kedudukan objek formilnya. Tidak ada suatu ilmu yang memiliki objek formil yang sama, sebab apabila objek formilnya sama, maka ilmu itu adalah sama.

Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Istilah kriminologi pertama kali dikemukakan oleh P.Topinard (1830-1911), seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan.

Bonger memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Melalui definisi ini, Bonger lalu membagi kriminologi ini menjadi kriminologi murni yang mencakup: 

(18)

1.    Antropologi Kriminal.

Ilmu pengetahuan tentang manusia yang jahat (somatis). Ilmu pengetahuan ini memberikan jawaban atas pertanyaan tentang orang jahat dalam tubuhnya mempunyai tanda-tanda seperti apa dan apakah ada hubungan antara suku bangsa dengan kejahatan dan seterusnya.

2.    Sosiologi Kriminal.

Ilmu pengetahuan tentang kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.Pokok persoalan yang dijawab oleh bidang ilmu ini adalah sampai di mana letak sebab-sebab kejahatan dalam masyarakat.

3.    Psikologi Kriminal.

Ilmu pengetahuan tentang penjahat yang dilihat sari sudut jiwanya.

4.    Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal.

Ilmu tentang penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf.

5.    Penologi.

Ilmu tentang tumbuh dan berkembangnya hukuman.

Di samping itu terdapat kriminologi terapan yang berupa:

a.       Higiene Kriminal.

Usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan.Misalnya usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang, sistem jaminan hidup dan kesejahteraan yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan.

b.      Politik Kriminal.

Usaha penanggulangan kejahatan, dimana suatu kejahatan telah terjadi.Di sini dilihat sebab-sebab orang melakukan kejahatan.Bila disebabkan oleh faktor ekonomi maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja.Jadi tidak semata-mata dengan penjatuhan sanksi.

c.       Kriminalistik (policie scientific).

Merupakan ilmu tentang pelaksanaan penyidikan tekhnik kejahatan dan pengusutan kejahatan. Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala social (the body of knowledge regarding crime as a social phenomenon).7 Menurutnya kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggaran hukum dan reaksi atas pelanggaran hukum. Kriminologi olehnya dibagi menjadi 3 cabang ilmu utama yaitu:

(19)

a.       Sosiologi Hukum.

Kejahatan itu adalah perbuatan hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi.Jadi yang menentukan suatu perbuatan itu adalah kejahatan adalah hukum. Di sini memiliki sebab-sebab kejahatan harus pula menyelidiki faktor-faktor apa yang menyebabkan perkembangan hukum (khususnya hukum pidana).

b.      Etiologi Kejahatan.

Merupakan cabang ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari kajahatan.Dalam kriminologi, etiologi kejahatan merupakan kajian yang paling utama.

c.       Penology.

Pada dasarnya merupakan ilmu tentang hukuman, akan tetapi Sutherland memasukkan hak-hak yang berhubungan dengan usaha pengendalian kejahatan baik represif maupun preventif.

Oleh Thorsten Sellin definisi ini diperluas dengan memasukkan conduct norms sebagai salah satu lingkup penelitian kriminologi, sehingga penekanannya disini lebih sebagai gejala sosial dalam masyarakat.

Paul Mudigdo Mulyono memiliki pendapat yang berbeda dengan definisi yang diberikan oleh Sutherland. Menurutnya definisi itu seakan-akan tidak memberikan gambaran bahwa pelaku kejahatan itupun mempunyai andil atas terjadinya suatu kejahatan, karena terjadinya kejahatan bukan semata-mata perbuatan yang ditentang oleh masyarakat, akan tetapi ada dorongan dari si pelaku untuk melakukan perbuatan yang ditentang oleh masyarakat tersebut. Karenanya Paul Mudigdo Mulyono memberikan definisi kriminologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia.

Michael dan Adler berpendapat bahwa kriminologi adalah keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, lingkungan mereka dan cara mereka secara resmi diperlakukan oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat.

Wood berpendirian bahwa istilah kriminologi meliputi keseluruhan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan teori atau pengalaman, yang bertalian dengan perbuatan jahat dan penjahat, termasuk di dalamnya reaksi dari masyarakat terhadap perbuatan jahat dan para penjahat. 

(20)

Noach merumuskan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.

Wolfgang, Savitz dan Johnston dalam The Sociology of Crime and Deliquency memberikan definisi kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor-faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.

Jadi objek studi kriminologi melingkupi:

1.      Perbuatan yang disebut sebagai kejahatan;

2.      Pelaku kejahatan; dan

3.      Reaksi masyarakat yang ditujukan baik terhadap perbuatan maupun pelakunya.

Ketiganya ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai kejahatan bila ia mendapat reaksi dari masyarakat.

 (21)


BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Pembahasan mengenai kejahatan pencurian dengan kekerasan yang menjadi faktor Penyebab terjadinya kejahatan pencurian dengan kekerasan disebabkan oleh 3 faktor utama, yaitu faktor ekonomi, faktor lingkungan pelaku dan faktor penegakan hukum. Selain 3 faktor utama tersebut terdapat juga beberapa faktor pendukung yang mempengaruhi dalam terjadinya kejahatan yakni faktor pendukung tersebut yaitu faktor pendidikan pelaku, faktor geografis atau letak suatu daerah, dan faktor korban khususnya kaum wanita yang sebagian besar menjadi target pelaku.

Kemudian terdapat Upaya-upaya penanggulangan yang perlu dilakukan untuk mengurangi kejahatanpencurian dengan kekerasan adalah berupa upaya pre-emtif, preventif, dan represif. Upaya-upaya tersebut dapat menekan atau mengurangi serta meberikan efek jera kepada pelaku kejahatan, sehinggga dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat. Dalam mengurangi tingkat kejahatan pencurian dengan kekerasan harus mendapat dukungan dari semua pihak, terutama masyarakat. dan aparat penegak hukum. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah meningkatkan kewaspadaan masyarakat serta menguatkan peran semua penegak hukum dalam memberikan efek jera pada pelaku-pelaku kejahatan pencurian dengan kekerasan, sehingga secara tidak langsung menghilangkan niat masyarakat untuk melakukan kejahatan tersebut.

B.     Saran

Dalam menekan tingginya angka kejahatan pencurian dengan kekerasan diperlukan kerjasama yang baik antara masyarakat dan pihak kepolisian agar tercipta peran aktif untuk saling menjaga ketertiban dan keamanan bersama, tindakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian berupa penyuluhan hukum melalui berbagia media baik itu cetak maupun elektronik, serta peran masyarakat dalam meningkatkan kewaspadaan dapat mengurangi kemungkinan menjadi korban pencurian dengan kekerasan khususnya Kaum wanita yang lebih besar kemungkinannya menjadi target pelaku kejahatan kiranya dapat lebih menigkatkan kewaspadaannya, pihak kepolisian harus lebih giat dalam meberikan pengajaran terhadap kaum wanita, sehingga dapat menigkatkan kewaspadaan mereka, penyuluhan melalui ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) atau melalui majelis taklim adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian, Serta Peran Penegak hukum dalam memberikan perlakuan dengan memberikan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, atau menjatuhkan hukuman berupa pemidanaan bagi pelaku kejahatan jambret harus lebih di tingkatkan, pemidanaan yang diberikan harus menimbulkan efek jera dan menimbulkan kesadaran pelaku untuk memperbaiki kehidupannya, sehingga pelaku di kemudian hari tidak memiliki niat untuk mengulangi atau melakukan kejahatan.

(22)

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdulsyani. 1987. Sosiologi Kriminalitas. Bandung: Remadja Karya

Abdussalam. 2006. Prospek Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Restu Agung.

Alam, A. S. 2010. Pengantar Kriminologi. Makassar: Pustaka Refleksi.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesi. Edisi Ketiga.

Jakarta: Balai Pustaka

Gosita, Arif. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Kumpulan Karangan. Buana Ilmu

Populer.

Hamzah, Andi. 2009. Delik – Delik Tertentu (speciale delichten) di dalam KUHP. Jakarta: Sinar

Grafika.

Kusumah, Mulyana. 1991. Clipping Service Bidang Hukum. Jakarta: Majalah Gema.

Lamintang P.A.F. & Theo Lamintang. 2009. Kejahatan terhadap Harta Kekayaan. Edisi Kedua.

Jakarta: Sinar Grafika.

Marpaung, Leden. 2008. Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Restu Agung.

Masriani, Tiena Yulies. 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafik.

Moeljatno. 2002. Asas-asas Hukum Indonesia. Jakarta: Rinela cipta

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Refika Aditama.

Poewadarminto, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Balai Pustaka.

Santoso, Topo & A. E Zulfa. 2001. Kriminologi. Jakarta: Rajawali Pers

Soekanto, Soerjono. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:

Rajawali Pers

Soesilo, R. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bogor: Politeia.

Yulia, Rena. 2010. Viktimologi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Undang-Undang No 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana

 

Unsur-unsur Tindak Pidana, http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2107131-unsur-unsur-tindak pidana/#ixzz1bm6PnREf, di akses tanggal 23 April 2014 Pukul 10:53

 

Perdin Lubis, Tindak Pidana Pencurian Dalam KUHP, diakses dari http://legal-community.blogspot.com/2011/08/tindak-pidana-pencurian-dalam-kuhp.html, pada tanggal 13 Juni 2014 Pukul 19:35

(23)

 

 

Demikianlah contoh dari karya tulis ilmiah. 

Semoga bermanfaat.


Coretan Tanpa Batas
Coretan Tanpa Batas Kami tidak dapat menjelaskan deskripsi tentang diri kami sendiri. Jadi, biarlah isi blog ini yang mendeskripsikan semua hal tentang kami.

1 komentar untuk "CONTOH KARYA TULIS ILMIAH"